Desa Buano Utara di
Pulau Buano, sebelah barat Pulau Seram, Maluku. Masyarakat di tempat itu
meyakini bahwa nenek moyang mereka merupakan cikal bakal identitas mereka
yang kebal dari gerusan zaman. Pertengahan Maret 2012 menjadi salah satu momen yang amat sangat penting bagi mayoritas warga desa. Mereka sibuk mempersiapkan
pemugaran satu dari 30 rumah pusaka yang berdiri di Buano Utara yakni rumah pusaka milik marga SOMBALATTU. Atas dasar penghormatan terhadap
leluhur, mereka berkewajiban melakukan pemugaran rumah pusaka yang sudah
terlihat rapuh termakan usia. Terakhir kali warga mengganti dan melakukan pemugaran pada tahun 1957
silam. Bagi mereka, rumah pusaka merupakan harta berharga yang harus dijaga dan dihormati.
Etnis tertua kepulauan Maluku, yakni
Kapitan dari tipe etnis Alifuru masa lampau. Alifuru bermakna manusia
pertama. sejak dahulu, telah menetap di Pulau Seram suku bangsa
Alifuros yang berasal dari campuran Kaukasus Mongol dan Papua, yang
dikenal sebagai suku Alune dan Wemale.
Perkembangan zaman mendesak kaum Alifuru
mulai meninggalkan tempat kediaman mereka dan menyebar ke pulau-pulau
kecil di sekitar Pulau Seram. Penyebaran itu memperluas jejak Alifuru karena nenek moyang mereka tetap sama. Dari Nunusaku atau keturunan
etnis Alune dan Wemale, nenek moyang menjadi kata kunci penduduk Desa
Buano Utara.
Prosesi panjang pemugaran rumah pusaka
menjadi salah satu cara untuk melestarikan peninggalan para leluhur.
Keterbatasan yang dimiliki di pulau kecil membuat warga Desa Buano tak merasakan adanya pelayanan publik yang baik terhadap kelangsungan hidup masyarakat setempat, keterbatasan tersebut dapat dilihat dengan adanya pelayanan
listrik hanya mempunyai waktu operasi selama 12 jam yang seharusnya menjadi 24 jam. Pengadaan air bersih juga menjadi masalah paling berarti bagi masyarakat Buano Utara, Untuk aktivitas mandi atau cuci, warga
di desa itu menunggu hujan turun dan air payau. Untuk mendapatkan air
minum, mereka harus berjalan kaki hingga berjam-jam menuju mata air di
pungung bukit.
Ketika cuaca buruk menghadang, sebagian
warga mulai beralih profesi menjadi penyuling minyak kayu putih di hutan. Pantang
menyerah merupakan ajaran nenek moyang yang dipegang teguh sejak lama.
Meski tak ada catatan tertulis, ajaran
nenek moyang di Buano tumbuh dari generasi ke generasi. Termasuk, ketika
sesepuh adat menggelar Mauna Tenun.
Salah satu hal wajib dilakukan ketika
pemugaran dilangsungkan yakni melantunkan syair kisah perjalanan leluhur Buano. Tahap
pemugaran memasuki fase krusial. Pemali, lili menani, atau tiang utama
lama akan diganti karena termakan usia. Lubang bekas tiang pancang
akan berganti. Lubang harus dijaga agar terhindar dari hal-hal buruk.
Prosesi pemugaran akan diawali
permintaan maaf kepala dati /datuk kepada sesepuh adat. Selanjutnya, doa
menggunakan bahasa tanah atau bahasa Buano Kuno, yang dipimpin Ali
Piris, sesepuh yang secara khusus merapal permohonan kepada Sang Kuasa.
Setelah itu, warga pun menebang kayu.
Jenis kayu pengganti harus sama agar karakter rumah pusaka tak berubah.
Dati atau sesepuh adat memimpin rombongan ke hutan. Memeluk batang,
mengelilingi pohon, merupakan prosesi wajib agar penebangan berjalan
lancar.
Tak boleh juga membawa batang ke
perkampungan sembarang jalur. Mereka harus meniru persis lintasan nenek
moyang ketika tiba di Buano. Dari daratan melewati lautan.
Dalam tradisi adat Buano terdapat
Marawang atau sosok penghadang yang merupakan sosok mencegah, agar kayu
tak gagal masuk kampung. Marawang punya hak menolak kayu datang lantaran
mereka merupakan bagian dari marga yang tersingkirkan. Mereka telah
keluar dari aturan adat karena menikah dengan marga lain.
Sebuah perlawanan datang dari Pata Nyai
atau perempuan pilihan pengusir Marawang. Pertarungan pecah. Pata Nyai
mengusir keras lelaki Marawang. Totalitas adat membuat mereka tumbang
kerasukan.